Friday, July 09, 2010

Hening di jurusalem..

Berita kedatangan bala bantuan kepada pasukan Muslim yang tengah mengepung kota membuat pasukan dan warga Kristian dan Yahudi yang berdiam di dalam kota menjadi cemas. Mengingat kedudukan Jerusalem sebagai kota suci, sebenarnya pasukan Muslim enggan menumpahkan darah di kota itu. Sementara kaum Kristian yang mempertahankan kota itu juga sedar mereka tidak akan mampu menahan kekuatan pasukan Muslim. Menyedari memperpanjangkan perlawanan hanya akan menambah penderitaan yang sia-sia bagi penduduk Jerusalem, maka Patriarch Jerusalem, Uskup Agung Sophronius mengajukan perjanjian damai. Permintaan itu disambut baik Panglima Amru bin Ash, sehingga Jerusalem direbut dengan damai tanpa pertumpahan darah setitis pun.

Walaupun demikian, Uskup Agung Sophronius menyatakan kota suci itu hanya akan diserahkan ke tangan seorang tokoh yang terbaik di antara kaum Muslimin, yakni Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu. Sophronius menghendaki agar Amirul Mukminin tersebut datang ke Jerusalem secara pribadi untuk menerima penyerahan kunci kota suci tersebut. Biasanya, hal ini akan segera ditolak oleh pasukan yang menang. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh pasukan Muslim. Boleh jadi, penganut Kristian masih trauma dengan dengan peristiwa perebutan kota Jerusalem oleh tentara Parsi dua dekad sebelumnya di mana pasukan Parsi itu melakukan perompakan, pembunuhan, pemerkosaan, dan juga penajisan tempat-tempat suci. Walau orang-orang Kristian telah mendengar bahwa perilaku pasukan kaum Muslimin ini sungguh-sungguh berbeda, namun kecemasan akan kejadian dua dekad dahulu masih membekas dengan kuat. Sebab itu mereka ingin jaminan yang lebih kuat dari Amirul Mukminin.

Panglima Abu Ubaidah memahami psikologis penduduk Jerusalem tersebut. Ia segera meneruskan permintaan tersebut kepada Khalifah Umar r.a. yang berada di Madinah. Khalifah Umar segera menggelar rapat Majlis Syuro untuk mendapatkan nasihat mereka. Utsman bin Affan menyatakan bahwa Khalifah tidak perlu memenuhi permintaan itu karena pasukan Romawi Timur yang sudah kalah itu tentu akhirnya juga akan menyerahkan diri. Namun Ali bin Abi Thalib berpandangan lain. Menurut Ali, Jerusalem adalah kota yang sama sucinya bagi umat Islam, Kristian, dan Yahudi, dan sehubungan dengan itu, maka akan sangat baik bila penyerahan kota itu diterima sendiri oleh Amirul Mukminin. Kota suci itu adalah kiblat pertama kaum Muslimin, tempat persinggahan perjalanan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Salam pada malam hari ketika beliau ber-isra' dan dari kota itu pula Rasulullah ber-mi'raj. Kota itu menyaksikan hadirnya para anbiya, seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa. Umar akhirnya menerima pandangan Ali dan segera berangkat ke Jerusalem. Sebelum berangkat, Umar menugaskan Ali untuk menjalankan fungsi dan tugasnya di Madinah selama dirinya tidak ada.

Pemergian Khalifah Umar hanya ditemani seorang pelayan dan seekor unta yang ditungganginya bergantian. Ketika mendekati Desa Jabiah di mana panglima dan para komandan pasukan Muslim telah menantikannya, kebetulan tiba giliran pelayan untuk menunggang unta tersebut. Pelayan itu menolak dan memohon agar khalifah saja yang menunggangi haiwan tersebut. Tapi Umar menolak dan mengatakan bahwa saat itu adalah giliran Umar yang harus berjalan kaki. Begitu sampai di Jabiah, masyarakat menyaksikan suatu pemandangan yang amat ganjil yang belum pernah terjadi, ada pelayan duduk di atas unta sedangkan tuannya berjalan kaki menuntun haiwan tunggangannya itu dengan mengenakan pakaian dari bahan kasar yang sangat sederhana. Lusuh dan berdebu, kerana telah menempuh perjalanan yang amat jauh.

Di Jabiah, Abu Ubaidah menemui Khalifah Umar. Abu Ubaidah sangat bersahaya, mengenakan pakaian dari bahan yang kasar. Khalifah Umar amat suka bertemu dengannya. Namun ketika bertemu dengan Yazid bin Abu Sofyan, Khalid bin Walid, dan para panglima lainnya yang berpakaian dari bahan yang halus dan bagus, Umar tampak kurang senang kerana kemewahan amat mudah menggelincirkan orang ke dalam kecintaan pada dunia.

Kepada Umar, Abu Ubaidah melaporkan kondisi Suriah yang telah dibebaskannya itu dari tangan Romawi Timur. Setelah itu, Umar menerima seorang utusan kaum Kristian dari Jerusalem. Di tempat itulah Perjanjian Aelia (istilah lain Yerusalem) dirumuskan dan akhirnya setelah mencapai kata sepakat ditandatangani. Berdasarkan perjanjian Aelia itulah Khalifah Umar r.a. menjamin keamanan nyawa dan harta benda segenap penduduk Jerusalem, juga keselamatan gereja, dan tempat-tempat suci lainnya. Penduduk Jerusalem juga diwajibkan membayar jizyah bagi yang bukan Muslim. Barang siapa yang tidak setuju, dipersilakan meninggalkan kota dengan membawa harta-benda mereka dengan damai. Dalam perjanjian itu ada butir yang merupakan pesanan khusus dari pemimpin Kristian yang berisi, dilarangnya kaum Yahudi berada di Jerusalem. Ketentuan khusus ini beransur-ansur dihapuskan begitu Jerusalem berubah dari kota Kristian menjadi kota Muslim.

Perjanjian Aelia secara garis besar berbunyi: "Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah 'Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit mahupun yang sihat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi, mahupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi."

Setelah itu, Umar melanjutkan perjalanannya ke Jerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti layaknya seorang musafir biasa. Tidak ada pengawal. Ia menunggang seekor kuda yang biasa, dan menolak menukarnya dengan tunggangan yang lebih pantas.

Di pintu gerbang kota Jerusalem, Khalifah Umar disambut Patriarch Jerusalem, Uskup Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka kota, dan para komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu berpakaian berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan murah. Sebelumnya, seorang sahabat telah menyarankannya untuk mengganti dengan pakaian yang pantas, namun Umar berkata bahwa dirinya mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islam, bukan dari pakaian yang dikenakannya. Saat Sophronius melihat kesederhanaan Umar, dia menjadi malu dan mengatakan, "Sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama manapun."

Di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus), Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Khalifa Umar r.a. Setelah itu Umar menyatakan ingin diantar ke suatu tempat untuk menunaikan shalat. Oleh Sophronius, Umar diantar ke dalam gereja tersebut. Umar menolak kehormatan itu lalu mengatakan bahwa dirinya takut hal itu akan menjadi ikutan bagi kaum Muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Umar lalu dibawa ke tempat di mana Nabi Daud Alaihissalam konon dipercaya shalat dan Umar pun shalat di sana dan diikuti oleh umat Muslim. Ketika orang-orang Romawi Bizantium menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata, kaum yang begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa. "Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik ...," ujar Sophronius.

Umar tinggal beberapa hari di Jerusalem. Ia berkesempatan memberi petunjuk dalam menyusun pentadbiran pemerintahan dan yang lainnya. Umar juga mendirikan sebuah masjid pada suatu bukit di kota suci itu. Masjid ini sekarang disebut sebagai Masjid Umar. Pada upacara pembangunan masjid itu, Bilal r.a. - bekas budak berkulit hitam yang sangat dihormati Khalifah Umar melebihi dirinya - diminta mengumandangkan adzan pertama di bakal tempat masjid yang akan didirikan, sebagaimana adzan yang biasa dilakukannya ketika Rasulullah masih hidup. Setelah Rasulullah saw wafat, Bilal memang tidak mau lagi mengumandangkan adzan. Atas permintaan Umar, Bilal pun melantunkan adzan untuk menandai dimulainya pembangunan Masjid Umar. Saat Bilal mengumandangkan adzan dengan suara yang mendayu-dayu, Umar dan kaum Muslimin menitiskan air mata, teringat saat-saat di mana Rasulullah masih bersama mereka. Ketika suara adzan menyapu bukit dan lembah di Jerusalem, penduduk terpana dan menyedari bahwa suatu era baru telah menyingsing di kota suci tersebut.

Dikutip dari Knights Templar Knights of Christ, yang ditulis Rizki Ridyasmara, diterbitkan oleh Pustaka Kautsar, 2006.

p/s : dipetik dari blog http://novelislam.blogspot.com/. apa mungkin akan ada lagi suasana hening seperti itu di kota jurusalem.. insyaallah

No comments: